Berikut adalah pembahasan penting mengenai shalat dalam keadaan sakit. Jika tidak mampu berdiri, maka shalat sambil duduk. Kalau tidak mampu, shalat sambil berbaring. Kalau tidak mampu, shalat sambil telentang.
Bulughul Maram karya Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani
Kitab Shalat
بَابُ صِفَةِ الصَّلاَةِ
Hadits #328/62
عَنْ عِمْرَانَ بِنْ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ لِي الْنَّبيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «صَلِّ قَائِماً، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِداً، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ»، رَوَاهُ الْبُخَارِي.
Dari ‘Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku, “Shalatlah dengan berdiri. Jika tidak mampu, shalatlah dalam keadaan duduk. Jika tidak mampu, shalatlah dalam keadaan berbaring. Jika tidak mampu, shalatlah dengan isyarat.” (HR. Bukhari) [HR. Bukhari, no. 1117]
Faedah hadits
1. Hadits ini menunjukkan mengenai tata cara shalat bagi orang sakit di mana ada tiga keadaan, tetapi ada lima keadaan yang bisa dirinci.
2. Keadaan pertama adalah shalat sambil berdiri bagi yang mampu, walaupun kondisinya seperti posisi orang yang rukuk (agak membungkuk) atau memakai tongkat atau bersandar pada tembok.
3. Keadaan kedua adalah bagi yang tidak mampu berdiri karena mengalami kesulitan, gambarannya itu ia mengalami keadaan sangat sakit sehingga sulit khusyuk dan thumakninah, maka kondisi ini ia shalat sambil duduk dan memberi isyarat ketika rukuk dan sujud, keadaan sujud lebih rendah dari rukuk. Keadaan duduk di sini tidaklah dijelaskan, artinya duduk bagaimana pun dibolehkan. Namun, duduk yang lebih baik adalah duduk bersila karena duduknya lebih mudah (tidak tegang) dibandingkan dengan duduk iftirasy. Tujuannya pula adalah duduk ini akan membedakan duduk yang menggantikan posisi berdiri dan duduk yang sesuai posisinya.
Baca juga: Cara Shalat Orang yang Shalat Sambil Duduk
4. Keadaan ketiga adalah jika tidak mampu shalat sambil duduk, maka shalat dilakukan sambil berbaring ke samping. Hadits menunjukkan secara mutlak apakah berbaring ke samping kanan ataukah ke kiri. Yang paling utama (afdal) adalah yang paling mudah. Jika berbaring ke kanan atau ke kiri sama-sama mudah, berbaring ke kanan itu lebih afdal. Wajah nantinya menghadap kiblat. Jika tidak mampu dihadapkan ke kiblat, shalat dalam keadaan apa pun sesuai kemampuan. Ketika rukuk, cukup berisyarat dengan kepala ke dada sedikit, lalu ketika sujud lebih menunduk lagi.
5. Keadaan keempat adalah shalat sambil telentang, punggung di bawah, dan kedua kaki ke arah kiblat. Yang paling utama (afdal) adalah kepala diangkat sedikit agar bisa dihadapkan ke kiblat.
6. Keadaan kelima adalah jika tidak mampu berisyarat dengan kepala, maka ada yang membolehkan berisyarat dengan mata, ketika rukuk mata berkedip sedikit. Setelah mengucapkan SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH, mata kembali dibuka. Ketika sujud, lebih dikedipkan lagi. Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan menyatakan bahwa hadits tentang hal ini dhaif. Ada pendapat kedua, jika memang tidak bisa berisyarat dengan kepala, maka menjadi gugur padanya. Ada pendapat ketiga yang menyatakan bahwa kalau tidak bisa melakukan gerakan sebagai isyarat, maka ucapan yang bisa diucapkan tetap ada. Berdiri cukup dengan niat di hati, lalu ia bertakbir, lalu membaca surah, kemudian rukuk dengan niat di hati, lalu bertakbir, membaca tasbih ketika rukuk, lalu berdiri iktidal dengan niat, lalu mengucapkan SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH. Adapun yang mengatakan bahwa isyarat dengan jari tidaklah ada dalil yang menunjukkan hal ini.
Baca juga: Cara Sujud Sesuai Tuntunan
Hadits #329/63
عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ الْنَّبيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِمَرِيضٍ ـ صَلَّى عَلَى وِسَادَةٍ، فَرَمَى بِهَا ـ وَقَالَ: «صَلِّ عَلَى الأَرْضِ إِنْ اسْتَطَعْتَ، وَإِلا فَأَوْمِ إِيمَاءً، وَاجْعَلْ سُجُودَكَ أَخْفَضَ مِنْ رُكُوعِكَ». رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ بِسَنَدٍ قَوِيٍّ، وَلَكِنْ صَحَّحَ أَبُو حَاتِمٍ وَقْفَهُ.
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada seseorang yang sakit yang shalat di atas bantal, lantas beliau melempar bantal dan bersabda, “Shalatlah di atas tanah bila engkau mampu. Jika tidak, pakailah isyarat dan jadikan isyarat sujudmu lebih rendah dari isyarat rukukmu.” (HR. Al-Baihaqi dengan sanad yang kuat. Namun, Abu Hatim menganggap hadits ini sahih jika mawquf, jadi perkataan sahabat). [HR. Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubro, 2:306; Ma’rifah As-Sunan wa Al-Atsar, 3:225; Al-Bazzar dalam Mukhtashar Az-Zawaid, 1:275. Hadits ini punya penguat—syahid—dari hadits Ibnu ‘Umar dikeluarkan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Kabiir, 12:269 dan Ath-Thabrani dalam Al-Awsath, 8:42. Al-Haitsami mengatakan bahwa perawinya terpercaya, tidak ada perkataan di dalamnya yang mengundang mudarat. Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan menyatakan bahwa hadits ini punya berbagai jalan dan penguat—syawahid–. Penilaian bahwa hadits ini hanyalah mawquf, hanya perkataan sahabat, tidaklah mencacatinya. Hadits ini tetap dihukumi marfu’, sedangkan riwayat mawquf menguatkan yang marfu’. Lihat Minhah Al-‘Allam, 3:206-207].
Faedah hadits
Jika memang tidak mampu sujud di tanah, maka sujud tidak di tanah, sesuai keadaan dia, di mana sujud lebih rendah dari rukuk. Ketika sujud tidak perlu meletakkan bantal atau selainnya untuk dijadikan tempat sujud.
Baca juga:
Kaidah
Kaidah penting untuk shalat dalam keadaan sakit adalah ayat berikut:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Bertakwalah kepada Allah semampu kalian.” (QS. At Taghobun: 16).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَىْءٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Jika kalian diperintahkan pada sesuatu, maka lakukanlah semampu kalian.” (HR. Bukhari no. 7288 dan Muslim no. 1337, dari Abu Hurairah).
Baca juga: Kaidah Fikih, Tidak Ada Kewajiban Ketika Tidak Mampu
—
Senin sore, 6 Dzulqa’dah 1443 H, 6 Juni 2022
@ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com